Hidayah, ya inilah hidayah-Nya yang aku rasakan, betapa harus
bersyukurnya aku atas apa yang terjadi dalam kehidupanku, dan tak lebih apa
yang kudapatkan saat ini. Dokter muda lulusan Cambridge University dengan
predikat cumlaude dan gratis tentunya, yang membuatku lebih
bersyukur, tapi dua yang membuatku sangat-sangat bersyukur. Nisa teman baru
dalam hidupku yang selalu setia menemaniku dan memberikanku seseorang yang
menjadi harta berhargaku, Rosyid. Laki-laki mungil yang kelak akan melebihi
ayahnya, amin. Tapi hidupku tidak hanya sampai di sini Masih harus berlanjut,
dan Masih banyak yang harus dicapai.
“uwaa....aaa,
uwaa...” kudengar jelas tangisan Rosyid di kamar sebelah ruang kerjaku.
Bagaimana tidak jelas, rumahku hanya sepetak bangunan kecil, yang hanya ada dua
kamar tidur, dapur, ruang tamu, dan satu kamar mandi. Kutinggalkan komputer
bututku yang dari tadi menemaniku, kuhampiri Rosyid, oh...memang Nisa perempuan
yang tepat, dia begitu sabar menimbang Rosyid yang tak kunjung diam, kudekati
dia.
“Cid,
kenapa nangis?kasihan Umi tuh...capek, ngantuk” kuambil Rosyid dari gendongan
Nisa.
“Mas
Iqbal lembur lagi ya?” aku hanya tersenyum menaggapi. Perhatianku Masih tertuju
pada Rosyid.
“Nis, buatin Rosyid susu dong, kayaknya haus” pintaku sambil menimang.
“Nis?”
kulihat Nisa hanya tertunduk.
“Cup...cup...Ocid...”
tak lama Rosyid pun tenang, kuletakkan Rosyid di ranjang, kudekati Nisa yang
masih duduk di samping ranjang.
“Kamu
kenapa Nis?”
“Maaf
Mas, aku tahu Mas Iqbal masih berusaha untuk memperbaiki ekonomi keluarga kita,
tapi...” air mata Nisa meleleh, dan ini yang membuat sakit, aku tak kuasa
mlihatnya, apa dia begitu menderita... “ya Robb ampuni hamba yang belum bisa membahagiakannya”
“izinkan
Nisa untuk membantu Mas, ini bukan tanggung jawab Mas saja, kita menjalani
hidup ini bersama, kita sama-sama mencintai Rosyid, kita juga sama-sama tidak
tega melihat Rosyid menangis kehabisan susu...”
“Nisa,
jangan teruskan...maafkan aku” kudekap Nisa, aku benar-benar rapuh melihat dia
menangis, aku malu pada diriku sendiri, akupun tak lebih dari sarjana
pengangguran, gelar Masterku tak cukup membahagiakan orang-orang yang kucintai.
“ya Allah...maafkan hamba
yang belum bisa membahagiakan orang-orang yang hamba cintai...ya Robb...”
***
Kejadian malam itu benar-benar membuatku
merasa bersalah dan tersadar bahwa, title bukan kunci hidup sukses dan mapan,
itu hanya merek dari kunci yang sejatinya, kegigihan dan keuletan tanpa itu
semua title hanya sampah, kenapa banyak sarjana pengangguran, ya...karena
mereka hanya mengandalkan merek yang tidak dijadikan kunci. Buat apa belajar
sampai di Cambridge, jika tidak diasah dan dikembangkan? Predikat cumlaude,
beasiswa semua itu akan percuma.
Perjalananku yang sesungguhnya baru
akan dimulai. Dan semua yang kulalui adalah awal dari semua ini. Aku jadi
seorang fisikawan di negeri ini, disamping mengajar di salah satu universitas
negeri di Solo, aku juga menulis buku-buku tentang Fisika untuk kalangan
mahasiswa SMA. Hidupku kini mapan, rumah kecil yang menjadi tempat berteduh
kami kini disulap menjadi rumah gedongan yang tak kalah mewah dengan
rumah-rumah artis papan atas, Nisa bidadariku kini tak lagi kerja di toko roti
depan gang rumah, dia pun selalu menemaniku kemanapun aku pergi, seminar di
kampus-kampus atau undangan-undangan dari para ilmuwan. Rosyid jagoan kecilku,
ia tak lagi menangis kehabiasan susu, dia benar-benar jadi jagoan Fisika di SMP
nya, gelar juara pun sudah bisa dia dapatkan. Hidupku benar-benar sempurna
seperti tak ada lagi yang ingin kugapai. Orangtuaku yang tak menyetujui
perkawinanku, kini sangat bangga dengan keluargaku. Mereka pun begitu
menyayangi Nisa dan Rosyid.
***
“My, sudah siap?”
“Ya Bi...Ocid...”
“Iya My...”
“Hem...wanginya”
“iyalah...kan mau ketemu Zahra”
“Ah, Umy. Kan Ocid diajak ke rumah om Rendra, ya kalau
ketemu Zahra itu wajar, dia putrinya”
“Udah udah...kalau diskusi nanti tidak jadi berangkat”
“Tumben kamu pakai baju dari Umy...katanya nggak gaul”
“Pengen tampil beda aja”
***
Ternyata malam ini hujan lebat. Tapi
aku tak sampai hati tidak mendatangi undangan sahabat karibku. Dia yang selalu
membantuku, dia juga yang menemukan aku dengan Bidadariku.
“Mas Iqbal tetap berangkat?”
“Ya Bi, hujannya gede”
“Insyaallah selamat”
Jalanan tak begitu ramai, lacu mobilku kupercepat.
“Hati-hati Mas”
“Makin cepat kan makin cepat sampai, My.”
“Sampai syurga...” istri dan anak-anakku ada-ada saja.
Hp ku berbunyi, ternyata dari Rendra.
“Assalamu’alaikum.” Suara di seberang tidak begitu
jelas karena hujan lebat.
“Rendra” aku tak begitu paham apa yang dikatakannya,
belum sempat aku memahami apa yang dikatakan semua yang dikuatirkan terjadi.
“BRAKK!!!”
Yang kuingat istriku menegadahkan tangan dan berdo’a.
***
Selesai, hidupku berakhir, kenapa aku
yang harus hidup? Untuk apa aku hidup sedangkan semua yang kumiliki hilang,
hidupku benar-benar mati.
“Ya Allah...kenapa aku tidak sekalian Kau ambil”
Pekakku, aku bingung tak tahu lagi apa yang harus aku
lakukan.
“Bal, “ Rendra mendekatiku, mau apa dia? Aku
membencinya.
“Bal kenapa kamu jadi seperti ini, ini bukan Iqbal yang
kukenal, tujuh tahun kita hidup bersama, gagal bersama, sukses bersama, dan
kamu tidak pernah serapuh ini menjalani kegagalan” pandanganku kosong.
“Dulu kamu yang selalu mengingatkanku saat aku
terpuruk ingat Allah Ren, la tahzan innallaha ma’ana, tapi apa? Sekarang
apa yang kau lakukan?”
“Ini beda Ren, kamu nggak ngerasain gimana kalau kamu
yang ditinggal orang yang sangat kamu cintai?” Air mataku meleleh, bayangan
Nisa yang selalu menenagkanku terbayang, Rosyid yang selalu mencairkan
kemarahanku. Ach!
“Itu masalahnya Bal, tahu nggak kamu? Kenapa Allah
memberikan cobaan ini kepadamu? Kamu sukses, hidupmu sempurna, istri sholihah,
tapi kamu lupa satu hal, itu bukan milikmu semata, kamu lupa siapa yang Maha
Memiliki dan apa yang kau berikan hanya cinta bukan kasih sayang, cinta yang
hanya ingin memliki bukan kasih sayang yang rela berkorban, kurasa kamu lebih
pintar dariku bal, ini hidupmu aku tak
berhak mencampuri, aku hanya ingin sedikit mengingatkan, dan aku akan selalu
ada untukmu, kapanpun kamu butuhkan, berpikirlah dengan hati Sobat,
assalamu’alaikum.”
***
“Ingat kawan, bahwa ilmu pengetahuan bukan segalanya,
tak semuanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan,karena wa fauqo kulli dzii
‘ilmin ‘aliiman. Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
yang Maha Mengetahui, dan semoga kita jadi ilmuwan yang mengungkap
kebesaran-Nya dan mensyukurinya”
Kuakhiri seminarku kali ini dengan perasaan tenang,
setelah dua bulan aku menenangkan diri.
Aku menuruni podium diiringi tepuk tangan yang begitu
meriah, kurasakan bayangan Nisa tersenyum padaku dan Rosyid yang tersenyum
bangga disampingnya.
‘Semua ini untuk kalian’. Kataku dalam hati,
kuhampiri Rendra yang ikut menyukseskan seminar ini, yang mendukungku saat ini,
mungkin kata terimakasih tak cukup membalas kebaikannya.
“Sukses Bal...” Rendra menepukku, dia terkekeh bangga
padaku.
“Thanks Ren, tanpa bantuanmu entah apa aku sekarang”
“Ini Iqbal yang aku kenal” dia melepas pelukannya dan
meluncurkan tinju kecil di dadaku.
“Semua yang kita miliki sejatinya bukan milik kita,
ada saatnya hilang, pulang pada Sang Pemilik sejatinya, karena memang tak ada
yang abadi kecuali Dia yang memiliki keabadian.” Rendra memotong kalimatku
“Yang kita miliki saat ini itu yang patut disyukuri”
“Alhamdulillah ya Robb “ kita ucapkan serempak seperti
dahulu waktu kita susah senang bersama di negeri orang kamu memang sahabatku.
***